Friday, March 28, 2008

Muara, “Negeri kecil” Eksotis nan Potensial

Pemandangan perbukitan menghijau, lembah curam dan—tentu saja—panorama keindahan Danau Toba yang membiru, tak bisa lepas dari pandangan mata ketika memasuki wilayah Muara; sebuah kecamataan kecil di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Setidaknya, inilah yang akan teralami ketika memasuki kawasan Muara jika melakukan perjalanan lewat transportasi darat.

Thursday, March 27, 2008

Jejak Soekarno di Tanah Karo


Bougenville di halaman rumah bercat putih itu seakan menjadi saksi bisu. Di dekatnya, tampak berdiri seorang tentara Belanda memangku senjata sedang berjaga. Bung Karno, Sutan Syahrir dan H Agus Salim kelihatan tertawa. Mengapa mereka tertawa? Bukankah mereka dalam pengasingan? Entahlah. Tapi, setidaknya itulah yang tergambarkan dalam foto memoar yang tergantung di dalam rumah bersejarah itu, kini.

Di Desa Laugumba, Kecamatan Berastagai Tanah Karo tepatnya di kawasan seluas 1,5 hektar, terdapat sebuah rumah semi permanen bercat putih, beratap seng berukuran 20×30 meter, dengan seluas taman yang ditumbuhi rerumputan hijau dan bunga-bunga. Tempatnya hening, jauh dari kebisingan. Angin berhembus sejuk hampir sepanjang waktu. Dan tahukah Anda bahwa di tempat itulah Soekarno, sang pelopor kemerdekaan dengan kedua tokoh penting itu pernah diasingkan semasa Belanda melancarkan Agresi Militer yang kedua, pada 1948.

Ir Soekarno yang juga digelari sebagai “purtra sang fajar” merupakan presiden pertama Republik Indonesia (RI), H Agus Salim yang merupakan perdana menteri pertama RI, serta Sutan Syahrir menteri luar negeri RI, ketiganya pernah menginap selama 12 hari di sana. Setelah itu dibawa ke Parapat selama tiga hari dengan alasan faktor keamanan.

Fakta apa saja yang terdapat seputar pengasingan ketiga tokoh yang dianggap ektrimis oleh Belanda itu? Banyak versi yang menjelaskannya. Dari situs resmi Yayasan Bung Karno, Cindy Adams dalam bukunya “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (2001) menuliskan, “Berastagi berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya saja, ada beberapa perbedaan. Satu: mereka tidak menamakan pengasingan. Sekarang istilah ‘penjagaan untuk keselamatan’. Dua: ‘kami dijauhkan dari isteri kami’. Dan tiga: ‘kami berada di lingkungan kawat berduri dengan diawasi enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung.’”

Versi lain. Dari antara mereka yang ditangkap di Yogja (Yogyakata-red), sembilan orang ditunjuk untuk diiternir tanpa kriteria tertentu. Tidak mengherankan bahwa Soekarno dan Hatta termasuk kelompok ini. Akan tetapi Syahrir, sebagai anggota Dewan Penasehat mempunyai kedudukan yang kurang penting, juga termasuk di dalamnya. Dari para menteri mula-mula, hanya Agus Salim yang dipilih. Di samping itu, diasingkan lagi Ketua KNIP Assa’at, Sekretaris Negara Pringgodigdo, dan S Suriadarma.

Pada 23 Desember 1948 mereka naik pesawat terbang yang dikendalikan oleh seorang komandan yang ditetapkan baru boleh membuka surat perintah bersegel “sangat rahasia” kalau sudah di udara. Kemudian waktu itu sang komandan tahu bahwa mereka harus pergi ke Pulau Bangka. Lalu ketika mendarat di ibukota Bangka, Pangkalpinang, Hatta bersama tiga orang tahanan lainnya disuruh meninggalkan pesawat. Mereka dipenjarakan di sana. Tiga orang yang masih tersisa, Soekarno, Syharir dan Agus Salim diterbangkan ke Medan. Dari sana mereka naik kendaraan ke Berastagi, sebuah kota di pegunungan kira-kira 60 kilometer dari Kota Medan.

Setelah ketiganya di Berastagi, tenyata di sana timbul masalah penjagaan, mereka bertiga lalu diasingkan ke tempat lain. Pada 1 Januari 1949 mereka dipindahkan ke Parapat, sebuah tempat liburan yang tidak jauh dari Berastagi. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah rumah peristirahatan mewah yang lebih mudah dijaga. Demikian pula Lambert Giebels dalam bukunya “Soekarno Biografi 1901-1950” (2001) melukiskan peristiwa pengasingan Soekarno ke dari Berastagi ke Parapat.

Sedang, DR Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) dalam keterangannya pada tahun 2005 menjelaskan, Bung Karno tak lama di Berastagi karena alasan keamanan. Tempat mereka menginap dianggap pihak Belanda tidak aman karena bisa diserang oleh Laskar Rakyat. Saat itu, Tanah Karo dikenal sebagai poros perjuangan rakyat Sumatra Utara untuk menegakkan kemerdekaan di Republik Indonesia. Mereka pun secepatnya dipindahkan ke Parapat (di pinggir Danau Toba) pada 1 Januari 1949. Dan pada 7 Februari, dari Parapat mereka dibawa ke Pulau Bangka. Mereka berkupul di sana. Lalu pada 6 Juli 1949 Bung Karno kembali ke Yogyakarta.

Rumah putih warisan kolonialis

“Kawan! Pusara adalah lambang kesinambungan hidup! Mati! Dalam perjuangan. Bahana kekal panggilan Bung Karno dari Blitar sampai Tanah Karo”

(Sitor Situmorang)


Demikian Sitor Situmorang, sastrawan angkatan 45 itu menuliskan seuntai kalimat tanda penghormatan pada “sang proklamator” pada sepetak batu marmer di Monumen Bung Karno, Laugamba Berastagi. Saksi bisu—pohon berbunga violet—itu masih tumbuh subur di sana memesona taman itu. Kicau burung-burung terdengar di balik pepohonan menambahi ketenangan suasana.

Alasan inikah yang membuat pemerintah kolonial Belanda membangun sebuah rumah peristirahatan, yang kelak menjadi rumah tawanan sementara bagi Soekarno dan dua tokoh penting itu di sana?

S Sinaga, sang penjaga bekas rumah tahanan yang selama ini sering digunakan sebagai mess (tempat peristirahatan) bagi pejabat Pemerintahan Sumatra Utara itu, menjelaskan bahwa memang rumah itu dulunya adalah kediaman khusus diperuntukkan bagi jenderal-jenderal Belanda selama melaksanakan tugasnya di daerah kolonial kawasan Tanah Karo.

Tak jelas kapan rumah ini dibangun, yang pasti sekitar tahun 1800-an, jelas Sinaga, yang merupakan anak dari J Sinaga, sang ayah yang pernah bekerja sebagai juru masak Belanda (koki) di rumah tersebut.

Hebatnya, meski setua itu, tampak kondisi bangunan dan perabotan yang ada di dalamnya masih tampak kuat dan awet. Soekarno ditempatkan sendiri dalam satu kamar. Di ruangan tengah antara kamar tidur Soekarno dengan kamar tidur Agus Salim dan Sutan Syahrir terdapat satu set meja dan kursi.

Ada juga lukisan tergantung di sana, sebuah lukisan artistik berobjek bunga, karya F Van Vreeland dan lukian sebuah ladang yang asri dan subur karya Jan Sleyter. Di dalam ruangan terasa adem, tenang. Nah, di ruang tamu akan didapati dua buah foto yang tergantung di dinding ruang tamu, yang masing-masing menggambarkan bahwa Seoekarno, Agus Salim dan Sutan Syahrir pernah singgah di tempat ini.

Kedua foto merupakan hasil reproduksi Sem Anthonius Meliala. Sedang foto aslinya, kata Sinaga, berada di tangan seorang warga negara Belanda, yang pada 2001pernah dipinjamkan kepada Sem untuk dicetak ulang.

“Inilah salah satu bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Soekarno memang pernah diasingkan di Tanah Karo,” katanya sambil menunjukkan bougenville yang pohonnya masih tumbuh pendek dan di depannya tampak seorang Belanda memangku senjata berlars panjang sedang mengawasi mereka bertiga. Dan dalam foto tersebut, ketiganya terlihat sedang tertawa. Seokarno mengenakan pakaian kebesarannya, Sutan Syahrir mengenakan kemeja dan rompi, sedang Agus Salim tersenyum sambil memegang tongkatnya.

“Soekarno, Agus Salim dan Sutan Sharir diperlakukan secara terhormat. Mereka dianggap sebagai tahanan politik terhormat oleh Belanda waktu itu,” ujar Sinaga lalu kemudian menunjukkan kamar Bung Karno, dilengkapi dengan dua buah tempat tidur, lemari dan kamar mandi terpisah dari ruangan. Semuanya terlihat masih terawat dan kuat.

Di luar, tepat di tengah halaman rumah, berdiri sebuah monumen perunggu (replika) Soekarno sedang duduk menyilangkan kaki kanannya. Dengan dua buah lampu sorot di kiri dan di kanan, pahatan buah tangan Djoni Basri bangunan yang diberi nama Monumen Bung Karno ini diresmikan pada 22 Desember 2005 oleh Gubernur Sumatra Utara (waktu itu T Rizal Nurdin), dan Ketua Yayasan Bung Karno Guruh Soekarnoputra.

Awalnya, pemugaran rumah tahanan Bung Karno yang dimulai April 2001 (menjelang 100 tahun Bung Karno) akan dilengkapi dengan patung Bung Karno setinggi 7 meter, menggambarkan Bung Karno sedang menunjuk ke depan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menjepit tongkat komando. Akan tetapi, rencana itu berobah. “Guruh mengatakan kesan patung demikian rupa diragukan akan menimbukan opini publik yang beragam tentang Bung Karno,” tutur Sinaga.

Taman Wisata Iman, Situs Wisata Religius Dairi


“Sitinjo, An Unique Spiritual Tourism Site.” Demikian sebuah media nasional berbahasa Inggris tanah air, 9 Januari 2005 menginterprestasikan panorama wisata alam religius Dairi yang akan kami singgahi. Letaknya di Kecamatan Sitinjo, 3 kilometer dari Kota Sidikalang.

Mobil masih melaju melintasi aspal hitam. Pemandangan di luar kabin seakan menarik kami untuk segera tiba di tujuan. Tak sabar rasanya. Fauzi, sang fotografer mulai sibuk menyetel kamera. “Ini pasti menarik,” katanya.

Tak lama, mobil menikung ke kiri, melewati sebuah portal yang bertuliskan “Taman Wisata Iman”. Taman Wisata Iman, sebuah nama yang tepat untuk lokasi yang mengandung sejuta makna ini. Jejeran pinus menghantar kesejukan pada mata. Lalu, satu persatu bangunan rumah ibadah ibadah masing-masing agama tampak berdiri tegar. Semua rumah ibadah ada di sana. Seakan-akan Dairi ingin menunjukkan bahwa keaneragaman agama yang saling rukun dan bersatu adalah sesuatu nilai yang agung dan pantas ditanamkan.

Mobil kami menanjak jalanan berliku. Namun bagi umat Kristiani, jalanan yang berliku dan mendaki diyakini memiliki nilai spiritual tersendiri. Bagi mereka, berjalan di sepanjang Taman Wisata Iman mengibaratkan perjalanan Yesus memikul salib hingga Puncak Golgota.

Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.

“Itulah fungsi utamanya. Mengenangkan penderitaan Yesus atau the Passion of the Christ seperti dalam film gubahan Mel Gibson itu ,” kata Sekda Kecamatan Sitinjo Anton Sihaloho sarat makna.

Sekitar 100 meter setelah mendaki jalan berliku, perjalanan kami hentikan. Sebuah vihara berdiri tepat di sebelah kiri jalan. Vihara Saddhavadana namanya. Vihara ini telah berdiri sejak tahun 2002 dan hinga kini selalu ramai dipenuhi umat Buddha baik lokal mau pun Medan, bahkan kota-kota lain.

Memasuki bagian dalam vihara, sejenak keheningan terasa. Sebuah patung Buddha duduk bersila dengan telapak tangan menengadah ke depan sementara tangan kiri menyokong sikunya dari bawah. Temaram lampu redup menyala membikin suasana semakin sakral. Gema suara pelan dengan penjaga vihara masih dapat terdengar menggelinding di antara bangunan.

Perjalanan kembali dilanjutkan. “Goa Bunda Maria, sakrarlnya,” Membuat kami penasaran. Kami pun segera turun. Sebelum menuju ke sana kami pun harus melewati jalan-jalan setapak menurun. Hamparan bunga-bungaan sedikit mengusik pikiran akan firdaus. Damainya.

Jalan menurun, meski melelahkan namun paling tidak sebuah makna tergapai dari sana. Relief-relief yang menggambarkan perjalanan penderitaan Yesus sebelum naik ke surga (the Passion of the Christ) terasa hidup. Patung-patung itu menggambarkan ketika Yesus diadili, disiksa, memikul salib ke Puncak Golgata hingga akhirnya Ia disalibkan dan dikuburkan di sebuah gua.

Beberapa pondok kecil dengan jendela terbuka menghadap lembah dan bukit meramaikan bangunan gereja di samping relief-relief itu. Sambil menunggu keluarga yang sedang berdoa, para pengunjung beragama Kristen masih dapat bersabar dengan ayunan dan beberapa tempat duduk dari kayu di taman tak jauh dari pondok doa itu.

Masih setengah perjalanan. Terasa lelah mendaki jalanan berkelok naik turun, kami pun beristirahat sejenak. Pemandangan alam yang indah. Udara aroma pinus tercium di mana-mana. Anak-anak pelajar tampak berbondong-bondong. Beberapa keluarga asyik berkumpul menikmati makan siang beralaskan tikar. Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.

Kami akhirnya tiba di sebuah bangunan mesjid dan relief Ka’bah di sampingnya, setelah beberapa menit mengunjungi pura bagi penganut agama Hindu. Bangunannya tepat menghadap lembah dengan sebuah taman dan tempat duduk kayu di depannya. Dari sini akan tampak pemandangan menuju Kecamatan Sumbul.

Relief Ka’bah tampak dikelilingi bunga-bunga. Beberapa pengunjung tampak asyik membidikkan lensa kameranya. Ada juga yang berjalan-jalan di sekitar taman sambil memandanginya lama-lama. Inilah puncak perjalan ke Taman Wisata Iman.

Sembari menikmati hidangan kopi panas, di hari yang mulai sore itu, kembali terenung dalam hati bahwa inilah karunia Sang Penguasa. ***

Jika Danau di Atas Danau


Berjalan di sisi sebuah danau memang mengasyikkan. Air, bagian terpenting dari alam, memang selalu mampu menawarkan sejuta interpretrasi tentang kesempurnaan sebuah keindahan, apalagi di sebuah wilayah yang masih alami.Tanpa sentuhan manusia-manusia serakah, penjahat-penjahat alam sebuah istilah untuk para penebang-penebang hutan liar.

Bagaimana menggambarkan sebuah danau di atas danau? Pertanyaan itu yang pertama kali muncul dalam benak saya ketika mendengar dan membaca sekilas untuk menjelaskan Danau Aek Natonang, yang berada di dataran tinggi wialayah Samosir ini.

Di Kabupaten Samosir sebenarnya terdapat dua danau di atas danau. Pertama Danau Sidihoni, jaraknya sekitar 8 kilometer dari Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Dikelilingi oleh bukit landai berwarna hijau muda dan deretan pohon pinus, semakin menambah keindahan. Sayang, danau ini tampaknya “merana” alias belum dikelola dengan baik. Sayangnya lagi, sebagian besar penduduk di sekitar danau masih memanfaatkan airnya untuk fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Selain itu, terbatasnya sarana prasarana transportasi juga membuat obyek wisata ini jarang mendapat kunjungan wisatawan.

Itulah Samosir. Kabupaten yang baru dimekarkan pada tahun 2003 ini memang memiliki banyak potensi di sektor pariwisata. Danau Sidihoni, yang kini merana ternyata bukan dialaminya sendirian. Danau induknya, Danau Toba, juga merana. Ia mendapatkan “perlakuan” yang sama dari masyarakat maupun pemerintah setempat dan pusat.

Seandainya ia bisa berbicara, ia pasti berontak. Seandainya ia memiliki air mata, mungkin ia akan menangis sepanjang waktu dan air matanya tu akan menjadi air danau yang jernih.” Dalam perjalanan pulang, saya mengandai-andai.

Masyarakat memperlakukannya seperti kamar mandi, mandi sesuka hati, mencuci pakaian, hingga buang hajat. Itulah yang terjadi dengan danau terbesar di Asia Tenggara itu

Lupakan saja sejenak tentang nasib Danau Toba. Sekarang, tibalah saatnya mengunjungi lokasi wisata yang hampir jarang disentuh kaki manusia itu. Di mana? Jawabannya, Danau Aek Natonang. Bangaimana menuju ke sana?

Inilah yang menjadi persoalan sejak menginjakkan kaki di Bumi Samosir itu, baru-baru ini. Sejak tiba di Kecamatan Pangururan melalui jalan darat lintas Tele dari Kabupaten Sidikalang, seorang pedagang makanan menjelaskan di ibukota kabupaten seluas 1.419,05 km itu

Ia pun bercerita, tapi dengan terlebih dahulu memesan mie rebus. Sangat pas dengan kondisi cuaca, dingin. Berdasarkan ceritanya inilah kami memulai perjalan menuju danau yang semakin “misterius” — setidaknya buat saya – esok harinya.

Dari Pengururan perjalanan kami lanjutkan menuju Tomok, yang dikenal dengan atraksi pertunjukan patung Sigale-galenya. Konon, menurut Sidabutar (46), pengelola Museum Tomok, kata “Tomok” berasal dari kata “Tolmok” yang artinya seorang anak laki-laki dewasa yang memiliki postur tubuh gemuk dan pendek. “Tapi tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu pendek, sedang-sedanglah” katanya ketika kami mengujungi museum yang penuh dengan benda-benda bersejarah peninggalan suku Batak itu.

Secara detail ia pun menerangkan satu-persatu benda pusaka yang susah payah didapatinya itu, mulai dari Hobbung tempat tidur Raja Sidabutar yang sekaligus dijadikan sebagai tempat penyimpanan harta sang raja), Tongkat Tunggal Panaluan, Laklak (buku yang mencatat sejarah Batak dan kalender penanggalan kuno), rudang, ulos, appang na bolon, parhokkom, pangir.

“Salah satu upaya untuk melestarikan peninggalan yang banyak menyimpan nilai seni dan budaya Batak itu, setiap tahunnya dirayakan dengan menyelenggarakan upacara yang disebut dengan Horja Bios” katanya dengan semangat

Show Time


Perjalanan dimulai. Saya pun teringat sebuah ucapan, entah sebuah lirik lagu atau suara dari sebuah iklan di TV: “it’s show time”.

Dengan terlebih dahulu menyewa sebuah motor bebek seharga Rp 50 ribu kami pun memulai perjalanan menuju Danau Aek Natonang. “Jika lae mau ke Danau Aek Natonang, di sana kau akan menemukan sebuah persimpangan tepatnya di sebelah kanan, nah dari situ jalan terus, tapi hati-hati jalannya parah,” kata seorang yang tak kukenal memberi petunjuk.

Sejauh sekitar 1,5 jam terasa melelahkan. Akses jalan berliku-liku dan mendaki. Setelah melalui Desa Parmonagan kami pun tiba di Desa Tanjungan tempat di mana Danau Aek Natonang berada. Memang, sebelum mencapai Parmonangan, akses jalan sudah diaspal hotmix meskipun ketika tiba di Desa Tanjungan, perjalanan mulai tergganggu akibat kondisi jalan yang samasekali tidak layak. Kondisinya parah dan memprihatinkan. Rusaknya jalan diakibatkan akses dipergunakan untuk keperluan truk-truk bermuatan kayu gelondongan dengan muatan berton-ton beratnya

Di Desa Tanjungan, tampak aktivitas kehidupan masyarakat seluruhnya bertumpu pada pertanian. Sebagian bekerja sebagai tukang potong kayu, entah untuk dibawa ke mana, namun setidaknya penebangan-penebangan itu, bukan tidak mungkin akan merusak tofografi yang mayoritas perbukitan yang landai. Sebagian juga ditanami dengan biji kopi, bawang dan kacang tanah

Danau Aek Natonang ternyata sangat indah. Meskipun airnya tidak sejernih air Danau Toba, namun ketenangan air dan suasana alamnya yang asri membuat siapa pun yang berkujung ke sini betah untuk berlama-lama. Sayang, di tempat ini belum terdapat satu pun sarana pendukung untuk mengundang minat wisatawan untuk berkunjung ke sini. Alhasil, kebosanan, mungkin menjadi sebuah “hadiah” yang lama-lama merasuk ketika tiba di sini

Itulah Danau Aek Natonang, kembali saya mengandai-andai: “Seandainya Danau-danau di Samosir ini (Danau Sidihoni, Danau Aek Natonang dan Danau Toba) bisa berbicara, mereka akan berontak, seandainya mereka bisa menangis, mungkin akan banyak danau-danau kecil akibat tangisan itu”. Tak tarasa kami sudah sampai di Tuktuk Siadong, tempat di mana kami menginap.

Mmh, dingin…. Tapi, nikmat juga!

Wisata Tapsel yang Nyaris “Keok”

Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) secara umum dikenal sebagai wilayah pertanian. Beriklim tropis dan Gunung Sibual-buali sebagai penanda khas lainnya. Pun demikian, daerah penghasil buah salak ini ternyata juga kaya potensi pariwisata. Bukan hanya dilirik lewat potret alamnya, tapi juga lukisan peninggalan sejarah yang menceritakan sejarah kebudayaannya.

Sektor pariwisata Tapsel sebenarnya cukup petensial. Hanya saja potensi ini masih membutuhkan perhatian khusus. Pasalnya, hampir seluruh potensi ini belum mampu memberi kontribusi signfikan terhadap sektor perekonomian untuk menggenjot pendapatan asli daerah. Padahal jika dilihat dari jumlah potensi wisata yang ada, bukan tidak mungkin sektor ini akan menjadi sektor andalan selain sektor pertanian. Lantas, apa pasal sehingga potensi pariwisata Tapsel hingga kini sepertinya masih berjalan di tempat?

Lagi-lagi persoalannya adalah anggaran pemerintah yang minim. Ternyata persoalan ini bukan hanya menimpa daerah-daerah wisata lainnya seperti Danau Toba dan beberapa objek wisata lain yang ada di Kabupaten Samosir. Nyatanya hal ini juga menjadi kendala utama di Kabupeten Tapsel yang dua unit wilayahnya kini terpisah dan menjadi wilayah otonom (Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Mandailing Natal), sejak fajar otonomi mulai merekah sejak tahun 1999 seiring dengan terbitnya Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Tapsel, meskipun demikian jika berbicara mengenai potensi di sektor pariwisata, dibanding kedua wilayah yang kini terpisah itu, masih lebih unggul dan lebih potensial. Tapsel memiliki keunikan dan potensi nilai jual lebih didukung dengan banyaknya objek wisata yang tersebar di hampir setiap kecamatan. Sebagai contoh, adanya peninggalan sejarah purbakala berupa candi di Kecamatan Portibi, adanya tiga buah danau, pemandian-pemandian alami, dan wisata alam, wisata budaya seperti kerukunan antar umat beragama di Kecamata Sipirok, dan akhirnya buah salak yang rasanya manis yang dapat dijadikan sebagai salah satu pendukung bisnis pariwisata, meskipun hampir di kedua wilayah lainnya buah ini juga tersedia.

Sedapatnya, ada 11 lokasi wisata tersebar di kabupaten dengan 28 kecamatan ini. Sedikitnya terdapat tiga danau: Danau Tao berada di Desa Batang Onang Baru Kecamatan Batang Onang; Danau Siais berada di Desa Rianiate Kecamatan Padangsidimpuan Barat serta Danau Marsabut berada di Desa Bunga Bondar Kecamatan Sipirok.

Selain itu terdapat objek wisata pemandian alam seperti Pemandian Parsariran, Desa Hapesong Kecamatan Batang Toru; Pemandian Aek Sijorni di Desa Aek Libung Kecamatan Sayur Matinggi; Air Terjun Simarpinggan di Desa Napa Kecamatan Siais; Air Terjun (Sampuran) Damparan di Desa Damparan Kecamatan Saipar Dolok Hole dan Air Terjun Napitu berada pada Desa Berastagi berada Di Kecamatan Saipar Dolok Hole.

Namun yang paling disayangkan adalah keberadaan peninggalan sejarah berupa candi purbakala yang kian waktu kian terpuruk kelestariannya. Padahal, berdasarkan fakta sejarah yang telah ada, candi-candi ini merupakan catatan sejarah kebudayaan yang pernah singgah di sini. Konon, candi ini dibangun oleh orang-orang kebudayaan Hindia Belakang yang hidup berabad-abad yang lalu. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, candi-candi atau situs ini menunjukkan sejarah kebudayaan agama Hindu yang pernah berkembang lama. Semisal, Candi Bahal I, II, III di Desa Bahal Kecamatan Portibi dan Candi Sipamutung di Desa Siparau Kecamatan Barumun Tengah yang sebagian puing-puingnya hilang “ditelan” orang-orang jahil dan tidak bertanggungjawab.

Objek wisata lainnya adalah lokasi arung jeram Sungai Batang Toru Kecamatan Batang Toru yang merupakan arena potensial untuk even tingkat nasional. Dan Pantai Muara Opu berada di Desa Rianiate Kecamatan Padangsidimpuan Barat, yang cukup potensial wisata dan kampung nelayan dan objek wisata Tor Simago-mago berada pada Desa Huta Baru Kecamatan Sipirok yang merupakan pengembangan wisata alam.

Hal yang memperkaya potensi ini juga disertai dengan adanya peninggalan situs-situs perjuangan kemerdekaan seperti Monumen Benteng Huraba di Desa Huraba Kecamatan Batang Angkola yang merupakan peninggalan pada masa kemerdekaan RI. Monumem perang Gurilla yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian maupun bahan pelajaran bagi siswa.

Minim Promosi


Minimnya dana pengaruhi geliat dunia pariwisata Tanah Air, sudah menjadi persoalan klasik. Persoalan ini sekaligus menjadi persolan di sektor pembangunan lainnya. Namun benarkah kiat promosi pemerintah setempat dapat menjadi pemicu berkembangnya sektor ini?

Kadis Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Drs H A Ibrahim Harahap mengatakan, sejauh ini objek wisata Tapsel banyak yang samasekali tidak diketahui publik sebagai akibat kurangnya publikasi. Namun yang menjadi persoalan mendasar pun dikarenakan kurangya perhatian pemerintah terhadap sektor ini.

“Tapsel sebenarnya memiliki banyak objek wisata yang potensial untuk dikembangkan. Memang selama ini, objek-objek wisata ini masih dikelola oleh pihak swasta. Padahal, jika ini didukung dengan perhatian yang serius pemerintah dengan kebijakan kepala daerah, sektor ini bukan tidak mungkin akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian daerah,” ujarnya kepada Tonggo Press (TP) baru-baru ini.

Menurutnya, selama ini kebijakan-kebijakan pembangunan Kabupeten Tapsel tidak pernah difokuskan dengan serius di sektor pariwisata. Hal ini dibuktikan dengan minimnya anggaran yang dikucurkan dari APBD setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan anggaran yang dikucurkan terhadap sektor lain, anggara untuk untuk sektor pariwisata sangatlah tidak mendukung. Akibatnya, sektor ini seperti berjalan di tempat, tanpa memberikan kontribusi penting terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Hal ini tidak ditepis Drs Chandra Nasution, selaku Kasubdis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tapsel. Dijelaskannya, potensi pariwisata cukup besar dan sangat bernilai. Mengapa demikian? Kata Nasution, potensi wisata Tapsel selain memiliki nilai panorama keindahan alam juga diperkaya oleh nilai-nilai historis seperti situs-situs candi purbakala yang menyerupai candi-candi yang ada di Jawa. “Sayang baru saat ini pemerintah kabupaten mulai melirik sektor ini,” katanya. Akibat minimnya perhatian pemerintah pada masa-masa sebelumnya, beberapa potesni wisata itu seperti diam di tempat, bahkan keberadaan candi-candi purbakala yang ada di Kecamatan Portibi kian waktu menjadi rusak kelestariannya akibat minimnya perawatan sebagai dampak dari minimnya anggaran.

Namun selain itu, Nasution juga menyesalkan rendahnya SDM aparat yang bekerja di dinasnya, ditambah dengan rendahya keseriusan staffnya dalam bekerja. “Untuk hal ini, sangat dibutuhkan orang-orang yang kreatif dan rajin. Walaupun seandainya anggaran pemerintah untuk sektor pariwisata besar, saya yakin jika SDM-nya lemah, toh hal yang sama juga akan terjadi: mandek..!,” katannya tegas.

“Mengapa demikian? Ya, itu juga yang menjadi persoalan mengapa negara kita ini juga tetap seperti ini, tidak maju. Persolannya, penerapan pola ‘right man on the rihgt place’ yang belum tercapai. Dan jika kita optimis untuk maju dalam segala bidang, maka kita pun harus optims untuk menerapkan prinsip ini, kenapa tidak?,” ujarnya bersemangat. “Seharusnya orang-orang yang bekarja di sini adalah orang-orang yang mengerti seni, mengerti budaya dan memahami arti pariwisata dari sudut pandang yang luas. Kenyataanya, staff yang bekerja di sini tidak sepenuh hati bekerja karena pada dasarnya mereka tidak menyukai pekerjaannya dan tidak memahami apa yang sedang mereka kerjakan,” tambahnya.

Selanjutnya dijelaskan Harahap, untuk masa yang akan datang ia optimis perkembangan sektor pariwisata Tapsel akan bekembang seiring dengan adanya kebijakan dan perhatian serius oleh pemeritah pada akhir-akhir ini. “Kita berharap dengan mulai adanya perhatian yang cukup seius dari Bupati Ongku P Hasibuan yang mulai melirik keberadaan potensi pariwisata Tapsel yang ternyata menjanjikan, geliat dunia pariwisata tidak lagi seperti berjalan di tempat dan dapat dijadikan sebagai lokasi alternatif utama di Sumatera Utara bagi para wisatawan luar daerah maupun mancanegara,” ujarnya.

Dikatakannya, Danau Sias merupakan salah satu objek wisata yang saat ini sedang diprioritaskan sebagai daerah perkemahan yang eksotis. Sejauh ini kendala yang dihadapi para pelancong sendiri menuju danau yang terdapat di Desa Rianiate ini adalah akses tempuh yang tidak mendukung. Untuk itu, kata Harahap, sejak awal Februari 2006 pembenahan infrastruktur berupa akses jalan telah dimulai dilaksanakan yang kemudian akan disusul dengan pembenahan penunjang lainnya seperti shelter-shelter penginapan, sarana hiburan pendukung, dan tempat ibadah. “Kami telah memprioritaskan kelak Danau Siais akan menjadi lokasi Jambore Pramuka sebab kondisi alamnya yang memungkinkan,” tambahya.

“Akses jalan menuju Danau Siais memang menjadi kendala. Jarakya sekitar 60 kilometer dari Kota Padangsidimpuan. Bayangkan, dengan kenderaan dengan gardan dua saja masih kewalahan untuk sampai ke sana. Nah, saat ini kita memprioritaskan akses jalan dulu, selanjutnya kita akan membenahi fasilitas lainnya sekaligus realisasi agar Danau Sias dapat dialokasikan sebagai bumi perkemahan Pramuka kedua setelah Sibolangit, meskipun saat ini draffnya telah didesain,” katanya. Dijelaskannya, proyek pembangunan akan selesai pada September 2006.

Memang, sebelumnya akses jalan menuju Danau Sias pernah dengan mudah ditempuh sebab pada saat itu kondisi jalan masih cukup baik walaupun ukuranya sempit. Namun beberapa lama kemudian, kondisi jalan yang dulunya dapat dilalui kendaraan dengan mulus, lambat laun rusak parah akibat seringnya dilalui truk-truk pengangkut kayu bertonase berat berlebihan dan tidak seimbang dengan kondisi jalan.

Kondisi objek wisata lainnya, seperti keberadaan objek wisata pemandian Aek Sijorni (Air yang Jernih) misalnya, masih tetap belum berdampak besar. Fasilitas yang ada pun masih ala kadarnya. Padahal, lokasi ini cukup potensial didukung kondisi alamya yang masih asli. Hal serupa juga terjadi dengan objek wisata lain, seperti Peandian Air Terjun Simarpinggan di Desa Napa Kecamatan Siais dan beberapa objek wisata lainnya.

“Meskipun demikian, hampir seluruh objek wisata Tapsel masih belum dapat dibenahi dengan maksimal, namun setidakya pemerintah telah memulai dari sekarang. Dan kita yakin, ke depan sektor ini akan menjadi sektor pendukung signifikan untuk menggenjot pendapatan daerah,” demikian Harahap menjelaskan, setidaknya pembangunan dan pembenahan sektor pariwisata Tapsel telah dimulai, meski selama ini disinyalir terlambat.

Siamang yang Membangunkan Tidur

Jika ada yang bertanya: “Di manakah kini dapat terdengar suara lantang siamang yang bisa membangunkan tidur di pagi hari, kicau burung-burung di antara ranting dan dedaunan, desis udara segar yang menjadi penyejuk tubuh. Tentu saja, di pagi yang indah dengan secangkir teh panas. Mungkin?”, sewajaranya kita akan kerepotan mencari di mana lokasi itu. Mungkin juga perasaan skeptis seketika muncul,” apakah masih ada tempat seperti itu, ya …?”.

Wajar saja jika pertanyaan itu sedikit membuat kita kerepotan mencari di mana lokasi itu berada. Realitas mengatakan, ketika arus modernisasi dan era industrialisasi serta hiruk pikuk polusi udara kini hampir merajalela di setiap sudut kehidupan urban, suasana seperti itu sudah menjadi sesuatu yang langka dan bernilai ekslusif.

Jangan bingung, sebab lokasi yang sanggup mewujudkan impian itu ternyata masih ada di sekitar Anda. Di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) mimpi itu akan menjadi kenyataan. Wilayah beriklim tropis ini dikenal dengan tofografi berbukit-bukit. Hembusan udara dari antara hutan pinus dan alam terbuka dapat dirasakan sepanjang waktu.

Kecamatan Sipirok merupakan wilayah jalan lintas trans Sumatera yang wajib dilalui jika melakukan perjalanan Inilah yang menjadi keunikannya. Dengan keberadaan Hotel Tour Sibohi Intenasional yang berdiri di atas lahan dengan tofografi berbukit serta dikelilingi pepohonan pinus yang menyebarkan aroma alami menyejukkan, pengalaman langka ini dapat dinikmati. “Inilah yang menjadi daya tarik daerah Sipirok selain dikenal dengan kerukunan antar umat beragamanya,” kata salah seorang sumber.

Diperkirakan di hutan belantara kawasan antara Gunung Sibual-buali – Sipirok – Batang Toru – Pahae – terdapat sekitar 300 ekor siamang. Pada waktu-waktu tertentu di pagi hari para siamang akan mengeluarkan suara khasnya. Selain itu, juga terdapat 99 jenis tanaman anggrek di simpag Desa Hutaraja Kecamatan Sipirok yang letaknya sangat dekat lokasi hotel.

Hotel Tour Sibohi sendiri berjarak sangat dekat dengan lokasi kawasan hutan pinus di mana para siamang menunjukkan dirinya bergelantungan di antara pepohonan. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari pusat Kota Sipirok. Di sini Anda akan menghabiskan malam peristirahatan jika ingin ingin melanjutkan perjalanan darat dari Medan menuju Kota Padangsidimpuan, Bukit Tinggi atau sebaliknya.

Suara siamang, kicau burung, dan desis udara yang saling bersentuhan di antara dedaunan sudah akan membangunkan tidur Anda di pagi hari. Ini menjadi semacam daya tarik bagi pecinta alam. Bagi mereka yang telah disibukkan oleh rutinitas kehidupan industrialisasi dan pola hidup modern dengan teknologi yang serba tentu tidak alami, hal semacam ini menjadi “hal aneh” sekaligus bernilai eksklusif dan menjual.

Di Kecamatan Siprok terdapat beberapa objek wisata yang juga didukung dengan panganan khas kerupuk “sambal teruma” berharga ekonomis berasa renyah. Objek wisata itu antara lain, pemandian Aek Milas (Air panas) di Desa Huta Baru, pemandian air panas alami ini bersumber dari pegunungan, Danau Marsabut di Desa Bunga Bandar Monumen Perang Gurilla dan Tor Simago-mago (Puncak Bukit) dan Gunung Merapi Sibual-buali serta Bagas Godang (rumah adat) Desa Bunga Bondar dan terdapat di Desa Menuju Wisata, yang memiliki desain bangunan khas.

Selain itu, Sipirok juga terkenal rukun dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. “Ini sudah berlangsung lama dan bahkan sebelumnya pernah menjadi kajian di bidang sosial oleh seorang peneliti dari Amerika. Adat-istiadat telah menyatukan mereka,” kata Kadis Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Drs H A Ibrahim Harahap.

Kongkritnya, kerukunan dapat dilihat dari pola hidup sehari-hari. Semisal, dalam perayaan hari besar agama masing-masing, mereka duduk bersama dan makan bersama. Tentu saja dengan saling menghormati ajaran agama masing-masing. Tak heran jika rumah ibadat pun berdiri ibarat sahabat yang duduk sejajar tanpa perselisihan. Demikian juga dengan masyarakatnya yang telah menjadi satu. Ikatan marga yang kuat seakan-akan tali pengikat yang tak bisa terputus. Semoga menjadi teladan.

Danau Siais Tawarkan Bumi Kemah Eksotis


Danau Siais merupakan salah satu objek alam Tapsel yang cukup potensial untuk dijadikan sebagai objek wisata. Terletak di Desa Rianiate Kecamatan Padangsidimpuan Barat atau sekitar 60 kilometer dari pusat Kota Padangsidimpuan.

Danau Siais identik dengan panorama alamnya yang masih “perawan” dan memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Hanya saja, selama ini potensinya belum mampu memberikan nilai besar baik bagi kehidupan perekonomian akibat pengeloaan yang belum maksimal.

Secara geografis lokasi Danau Siais berdekatan Sungai Batangtoru. Bahkan, keduanya dihubungkan dengan aliran anak sungai yang mengalir menuju danau. Dengan demikian, dengan sendirinya ikan-ikan yang hidup di Sungai Batang Toru bebas keluar masuk menuju Danau Siais. Dan tak mengherankan jika di Danau Siais banyak terdapat ikan jurung (dalam bahasa Tapsel: mera). Keunikan lain Danau Siais, selain panorama alamnya, adalah terdapatnya sejenis ikan menyerupai ikan teri yang hidup sepanjang tahun.

Konon, di tepi danau ini, tepatnya di sekitar Desa Riaiate hidup beberapa kawanan ikan jurung yang menurut masyarakat setempat, tidak diperbolehkan untuk ditangkap. “Masyarakat menganggap, ikan-ikan berukuran besar ini “hidup” layaknya manusia yang hidup bersama dengan mereka,” jelas Kadis Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Drs H A Ibrahim Harahap.

Danau Sias merupakan salah satu objek alam Tapsel yang saat menjadi prioritas sebagai daerah perkemahan yang eksotis. Sesuai rencana, Lokasi sekitar Danau Siais akan dijadikan sebagai lokasi Jambore Pramuka sebab kondisi alamnya yang memungkinkan. Di lokasi perkemahan ini juga akan dibangun sarana pelaksanaan upacara bendera, penginapan serta penginapan.

Meskipun sejauh ini kendala yang dihadapi Danau Siais adalah akses tempuh yang tidak mendukung. Namun sejauh ini pemerintah optimis lokasi wisata Danau Siais akan menunjukkan gaungnya sebagai lokasi wisata alternatif kedua di Sumatera Utara setelah Danau Toba.

Danau Toba, Nasibmu Kini…


Setiap kali mata memandang, Danau Toba memang selalu mampu, paling tidak memberi makna keindahan. Inilah lukisan alam anugerah Sang Penguasa. Sebenarnya ini adalah mutiara. Hanya saja, ketidakpedulian kita seakan-akan membuat ia merana.

Danau Toba terbentuk dari letusan sebuah gunung berapi. Puncak gunung tersebut runtuh dan terjadilah Danau Toba. Sebagian reruntuhan itu menjadi Pulau Samosir. Peristiwa alam membuat kawasan itu menjadi indah. Danau seluas 6,60 kilometer persegi itu dikelilingi dinding-dinding bukit yang menjulang tinggi hingga 480 meter di atas permukaan laut.

Bukit di sebelah tenggara dan timur disebut Bukit Habinsaran dan Simanukmanuk. Dinding itu memisahkan Uluan dan pantai timur Sumatera. Uluan merupakan daerah perbukitan tinggi yang di bawahnya terdapat Toba Holbung atau Lembah Toba. Di kawasan ini terdapat lahan pertanian yang subur dan berpenduduk padat. Kawasan ini terletak di antara Porsea dan Balige.

Panorana alam Lumban Silintong, misalnya. Lokasi wisata yang berada di Kabupaten Toba Samosir, Balige, ini ternyata menyimpan potensi yang bisa dijual. Mengapa begitu optimis untuk menjualnya?

Sejauh ini Kabupaten berpenduduk 169.577 jiwa ini masih dikenal miskin. Bayangkan pertumbuhan ekonominya belum mampu mencapai 1 trilliun. Sementara 80 persen penduduk kehidupan mereka bersumber dari sektor pertanian. Maka, sifat optimis pemerintah setempat sangat perlu dalam pengembangan sektor ini.

Benarkan Bali hanya dikenal lewat panorama alam Pantai Kute? Keberhasilan mereka pastinya juga didukung oleh banyak aspek yang tak kalah penting, budaya, keramahtamahan, dan segala aspek yang memungkinkan untuk mengundang minat pelancong untuk datang keduakalinya.

Danau Toba yang Minim Polesan

Pada dekade sebelumnya semarak dunia pariwisata Bona Pasogit (wilayah Tapanuli Utara dan sekitarnya–red) masih akrab disuguhi dengan sajian-sajian budaya khas daerah setempat. Dan tentu saja, ini merupakan daya tarik tersendiri melihat pada hakikatnya nilai keindahan dan kenikmatan sebuah sajian wisata sebenarnya bukan terletak hanya pada bentangan keindahan alamnya saja. Budaya yang berbau khas sebenarnya juga merupakan aset bernilai tinggi.

Ini sudah menjadi sesuatu yang langka ditemui dalam gejolak perpariwisataan Bona Pasogit. “Sebenarnya kendalanya bukan pada kemampuan dan ketidaktersediaan sarana untuk memenuhi sajian budaya itu. Bumi Tobasa sebenarnya masih menyimpan ‘sejuta’ kekayaan budaya yang layak dijual untuk pengembangan pariwisata. Hanya saja maukah kita? Sebaliknya inilah yang terjadi, tidak adanya political will dari pemerintah setempat maupun dukungan masyarakat.” Seperti yang diungkapkan Kabid Litbang dan Evaluasi Pelaporan Bappeda Kabupaten Tobasa Sunggul Tanpubolon memberi komentar seputar permasalahan ini.

Kekhasan budaya yang dimiliki masyarakat Bona Pasogit saat ini sebenarnya mengalami keterpurukan. Misalnya, sejauh ini tarian “tor-tor” hanya dilaksanakan pada acara-acara adat saja. Pada masa silam, masyarakat Bona Pasogit juga masih sering dimanjakan dengan hiburan “opera Batak” yang menampilkan cerita-cerita Suku Batak dan menyimpan pesan moral khususnya bagi kaum muda. Sekarang sajian hiburan seperti ini sudah langka. Akibatnya, orang-orang setempat pun akhirnya lebih memilih hiburan lain.

Seperti yang dikatakan Sunggul, Tobasa sebenarnya bukan tidak memiliki orang-orang yang mahir dalam pertunjukan opera Batak, hanya saja masalahnya terletak pada ketidak adanya kemauan, terutama antusiasme pemerintah. “Bah, sampai kapan kita menunggu?.”

Prinsip “Sude Do Raja”

Sajian wisata panorama Lumban Silintong, misalnya, jika dilihat dari segi aspek fasilitas untuk menikmati lukisan alam Danau Toba sebenarnya sudah memadai. Pada tepi-tepi danau barangkali kita tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan lokasi yang pas dan aman untuk bersantai dan memanjakan mata kita untuk menikmati karunia Tuhan itu. Sekaligus ditambah dengan sajian yang membuat lidah kita bergoyang dengan sajian khas ikan bakar. Jika doyan memancing, di beberapa tempat ini juga sangat pas. Beberapa gubuk-gubuk pemancingan juga tersedia.

Sama halnya dengan lokasi wisata lainnya. Seperti Parapat Danau Toba, misalnya. Di lokasi danau yang terbentuk dari letusan Gunung Toba, terletak 905 meter di atas permukaan laut dengan keliling 294km, luas permukaan danau 1.100 km² dengan kedalaman maksimum 529 meter ini, pelancong juga serasa dimanjakan dengan tersedianya gubuk-gubuk kecil untuk beristirahat dan menatap luas hamparan air tawar yang luas membentang. Selain itu juga tersedia sarana penginapan dengan aneka variasi kelas, yang tentu saja disesuaikan dengan ketersediaan kocek.

Demikian juga halnya dengan panorama alam Tuktuk Siadong di Kecamatan Ambarita Kabupaten Samosir. Ini bukan berita baru lagi, bahwa Samosir diprioritaskan menjadi kawasan wisata andalan Sumatera Utara sejak kabupaten seluas 1.419,05km2 ini dimekarkan pada tahun 2003.

“Apa yang membuat wisata Parapat Danau Toba, begitu juga kawasan lainnya merosot jika dari jumlah pengunjung dari tahun ke tahun, ialah karakter masyarakat setempat yang menganut prinsip ‘sude do raja’ (semua raja),” Seperti dikatakan Ketua DRRD Kabupaten Simalungun Syahmidun S Sos.

Masyarakat Bona Pasogit masih terikat oleh sejarah yang menyangkutpautkan dirinya dengan budaya lama. Misalnya, pada masa silam mereka, khususnya mereka yang berkecimpung dalam bisnis pariwisata, tidak sedikit dari mereka merupakan keturunan raja. Bukti lain juga tersirat dari marga yang mereka lekatkan pada nama mereka yang tidak sedikir memakai embel-embel “raja” di belakangnya. Ini masih sangat sulit untuk dilepas dari mereka.

Akibatnya, mereka tidak bisa memposisikan diri mereka sebagai pelayan karena sudah terbiasa dilayani. Dampaknya, pelancong sering mengurungkan niatnya untuk datang keduakalinya. “Singkatnya, masyarakat setempat masih sulit untuk memposisikan dirinya sebagai “pelayan”.

Ini sudah terbukti. Fenomena ini dapat dibandingkan dengan pengelolaan dan perkembangan pariwisata lain di Tanah Air. Benarkan kemerosotan bisnis pariwisata Sumatera Utara khususnya Danau Toba hanya dilatarbelakangi oleh krisis BBM yang melanda negara kita atau ketidakterjaminan keamanan bagi para pelancong? Ini perlu dicermati.

Manusia sangat membutuhkan ketenangan di kala realitas kehidupan saat ini yang penuh dengan kesibukan dan tanggunjawab. Mereka butuh kedamaian lewat sajian hiburan dan wisata. Mereka butuh ketenangan dan yang paling utama mereka ingin dilayani setelah sibuk “melayani” dan penat dalam segala kesibukan urusan pekerjaaan, khususnya bagi masyarakat urban.

Nommensen dan Peradaban Batak


Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr. Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?

Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu untuk melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.

Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun.

Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.


Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.

Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.

Impian dari kesederhanaan

Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.

Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain.

Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul maka ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul, ia pun sembuh.

Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.

Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.

Dari Norsdtrand ke Silindung

Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Belanda).

Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”

Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak.

Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.

Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.

Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.

Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.

Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.

Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.

Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke Silindung.

Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.

Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.

Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J. Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.

Misi zending tak berhenti sampai di sana. Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.

Zending inkulturatif


Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.

Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah mulai usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.

Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur. Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.

Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.

Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya. Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta.

Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.

Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.

Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.

Kini, Nommensen telah tiada tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga…

“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin”
(Dr. Ingwer Ludwig Nommensen)

Tuesday, March 25, 2008

Graha Maria Annai Velangkanni, Harmoni di antara Pluralitas


SORE itu di sebuah taman mini, di Graha Maria Annai Velangkanni tampak beberapa ibu-ibu sedang berdiri membaca sebuah ukiran di dinding. Di dinding taman yang diberi nama Taman Mini Santo Giovanni Paolo II itu terukir kalimat terakhir yang pernah diucapkan Musafir dari Polandia Paus Johannes Paulus II: ”Magnificat Animo Dei.”

Di tempat lain di graha itu, beberapa remaja juga terlihat sedang menikmati suasana. “Di sini sejuk dan damai,” kata Joni (23) dan Ida (20), yang baru kali pertama berkunjung. Nurlela (31) lebih sering lagi. Baginya, tempat ini memberi inspirasi. FR James Bharataputra SJ sendiri menjuluki tempat ini sebagai oase di “padang gurun.”

Memasuki Graha Maria Anna Velangkanni di Jl Sakura III No 10 Tanjung Selamat memang suatu pengalaman menarik. Berada di sudut Kota Medan dan jauh dari kebisingan. Di lokasi seluas 6.000 meter persegi orang-orang dapat menikmati kenyamanan dan kesejukan. Di sini setidaknya tertangkap sebuah makna yang pantas diteladani, harmonsasi di antara pluralitas. Semua orang datang untuk “berteduh” di sini, dari berbagai keyakinan dan budaya.

Secara khusus, tempat ini memang diperuntukkan bagi umat Katolik yang hendak melakukan devosi kepada Bunda Maria. Kenyataannya, orang-orang yang berkunjung ke tempat ini datang dari keyakinan yang berbeda seperti Hindu, Islam dan Buddha. Di sisi lain, pertemuan antar budaya dan etnis juga terjadi di sini. “Raju” bersapa dengan “A Seng”, “Ali” bersapa dengan “Togar”, “Sembiring” bersapa dengan “Joko” dan seterusnya dan seterusnya.

Mereka bersatu dan bersahabat di sini. Setidaknya mereka datang untuk menikmati kesejukan taman yang adem secara spiritual. Dan yang pasti keharmonisan terjalin di sini. Ini pantas menjadi teladan, melihat saat ini negara kita sedang dihadapkan dengan konflik yang dilatari agama dan suku seperti yang terjadi di Poso, yang bahkan telah menelan korban jiwa.

Sumatera Utara boleh bangga. Peristiwa seperti itu masih jauh, dan semoga tidak. Graha Bunda Maria Anna Velangkanni dapat dijadikan sebagai wadah pemersatu antar umat beragama di Tanah Air, khususnya di Sumatera Utara. Seperti yang diucapkan sang pencetus ide FR James Bharataputra SJ, “manusia adalah sama sebagai ciptaan Tuhan.”

“Tempat ini menawarkan nilai persatuan itu meski dengan keyakinan yang berbeda.” Seorang India dari Serikat Jesuit (SJ) yang telah berkarya selama 34 tahun di Keuskupan Agung Medan itu berkomentar. Memang, seperti kata James kemudian, seperti oase, graha ini hadir sebagai pelepas dahaga ketika “kekeringan” sedang terjadi. Kesibukan sehari-hari di era modernisasi saat ini mungkin telah membuat orang jenuh dan membutuhkan kesejukan. Untuk itu tempat ini hadir bagi siapa saja, mengundang siapa saja, tanpa pandang bulu untuk merasakan keteduhan sebab tempat ini hadir untuk menyatukan perbedaan.

James mengatakan pembangunan graha ini diawali dari mimpi. “Saya adalah pemimpi hal yang indah-indah, demikian juga dengan hati manusia, saya ingin agar hati setiap orang yang datang ke tempat ini menjadi indah, hati indah yang memiliki kesejukan dan kedamain.”

Inilah yang mengilhami pemikiran James yang masih terlihat bersemangat itu meski usianya kini telah mencapai 69 tahun. Ingatannya pun masih tajam. Pengalaman James hidup di lingkungan budaya Hindu semasa kecil tetap melekat meski ia hidup dengan disiplin Katolik dari kedua orangtuanya. Keharmonisan di antara perbedaan itu memberinya inspirasi untuk mendirikan sebuah graha seperti Velangkanni Shirine yang sudah ada sejak 350 tahun lalu. Dan kini mimpi itu menjadi kenyataan.

Jika melihat dengan utuh model bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 6.000 meter persegi itu, maka yang tertangkap imajinasi adalah nuansa budaya Hindu-Islam. Gaya arsitektur yang diaplikasikan adalah desain bangunan gaya Indo-Mogul yang ngetren di era Kerajaan Mongolia Kuno dulu.

Namun demikian, Pastor James menepis anggapan bahwa tempat ziarah spiritual itu dikhususkan bagi umat Kristen atau budaya tertentu saja. “Saya juga ingin mempersatukan budaya segala bangsa melalui tempat ini,” katanya.

“Pintu Graha Bunda Maria Anna Velangkanni terbuka bagi setiap keyakinan dan budaya untuk mengalami kesejukan iman dari Sang Pencipta karena pada dasarnya ide pendirian graha ini berangkat dari mukjizat yang dialami oleh umat Hindu di India tepatnya di Vailangkanni, sebuah dusun kecil di pesisir Tanjung Bengala bagian India Selatan, di mana mereka mengalami peristiwa penampakan Bunda Maria. Nah, hal itulah yang menginspirasikan berdirinya graha ini.”

James bercerita, pada pertengahan abad-17 atau sekitar 350 tahun yang lalu di Velangkanni, Bunda Maria menampakkan dirinya sebanyak tiga kali. Waktu itu jauh sebelum Maria menampakkan dirinya di Goa Lourdess Prancis dan Portugal. Pada awalnya, Velangkanni Shrine yang ada di India sekarang adalah sebuah kapel kecil. Kemudian dibangun kembali oleh pelaut asal Portugis yang sebelumnya mengalami hempasan badai. Kapal mereka yang hendak menuju Maccau dari Eropa melalui lautan Sri Langka terombang-ambing. Namun mereka akhirnya selamat setelah melakukan devosi kepada Bunda Maria dan dalam devosi itu mereka berjanji akan mendirikan sebuah gereja di mana saja kapal mereka akan berlabuh dengan selamat. Herannya, kapal mereka berlabuh di Velangkanni. Mereka pun menepati janjinya.

Kemudian di tempat ini, sekitar 90 kilometer dari Chennai, Tamil Nadu India, orang-orang yang sakit datang berdoa dan disembuhkan. Nama “Maria Annai”pun diberi yang dalam Bahasa Tamil berarti “bunda”. Tempat ini menarik hati orang-orang dari berbagai bangsa dan kepercayaan mana pun untuk berziarah. Sejak saat itu pula tempat itu dijuluki “Lourdess Timur” dan diangkat statusnya sebagai basilika oleh Sri Paus Yohannes ke-23.

“Saya ingin peristiwa seperti di Velangkanni juga terjadi di Indonesia, kalau bisa diawali dari Kota Medan,” katanya. Pembangunan graha itu pun dimulai pada September 2001. “Saya mulai dengan keyakinan yang teguh bahwa mimpi saya akan terwujud,” kata Pastor James tersenyum.

Pada tahun 2000 Uskup Mgr A G Pius Datubara OFMCap meminta James untuk mendirikan sebuah balai pertemuan khusus untuk orang-orang India Tamil yang tersebar di Kota Medan. James kemudian menyetujuinya dan mengusulkan agar di tempat itu juga didirikan sebuah tempat devosi kepada Bunda Maria. “Dengan demikian kita bisa membina orang dengan imannya,” katanya.

Berawal dari keyakinan pembangunan pun dimulai. Setelah mengurus proses perizinan pendirian pondasi pun dilakukan. Soal dana, James mengatakan ia tak pernah ragu. Pembangunan pun berlanjut. James mengumpamakan, Tuhan sebagai panitia, Bunda Maria menjadi penyedia dana dan ia sendiri sebagai orang yang dihunjuk sebagai pelaksanaanya.

Dalam proses pembangunan, James mengatakan ia dibantu oleh Ir Yohannes Tarigan seorang dosen di Fakultas Teknik di USU dan UNIKA St Thomas Medan selaku konsultan yang menawarkan jasanya dengan gratis. Selama empat tahun akhirnya bangunan selesai dikerjakan. “Saya selalu yakin mimpi saya akan terwujud,” katanya

Soal dana pembangunan James mengaku banyak dibantu banyak pihak, termasuk dari pihak yang berbeda keyakinan. 60 persen berasal dari dalam negeri dan selebihnya dari luar negeri.

***
FEBRUARI 2002 di sebuah rumah di Jl Kediri No 27 (Kampung Keling) Medan, sebuah peristiwa naas terjadi. Rumah itu adalah rumah seorang sahabat di mana Pastor James tinggal untuk sementara. Sahabat itu memberinya sebuah kamar di lantai dua untuk peristirahatan James sementara. Namun naas, lantai dua rumah itu dilahap si jago merah akibat arus pendek. Termasuk kamar James. Yang tersisa hanya puing-puing.

Tiga hari sebelum peristiwa itu, James menaruh senilai uang Rp 10 juta di atas meja kamarnya. Uang itu adalah sumbangan dari Aceh. Untuk diketahui, sebelumnya Pastor James pernah berkarya di Aceh selama 8 tahun dan di Papua selama 3 tahun.

Tiga hari kemudian, ketika sedang menunggu keberangkatan pesawat yang akan kembali ke Medan, ia menerima telepon yang mengatakan bahwa kebakaran telah terjadi dan menghanguskan lantai dua rumah itu, termasuk ruangannya sendiri. “Saya yakin uang itu pasti akan ikut terbakar karena uang itu memang berada di ruangan saya itu.

Anehnya, menurut Pastor uang itu tidak ikut hangus terbakar dan ditemukan dengan utuh di antara puing-puing bangunan yang telah hangus. “Ini aneh dan bagi saya dan ini adalah keajaiban,” kenangnya. Sebelumnya ia meninggalkan uang itu dengan terburu-buru dan tidak sempat menyimpannya di bank sebab harus mengikuti sebuah acara penting di Jakarta.

Keajaiban ini segera tersebar melalui media massa dan dari mulut ke mulut. Hingga akhirnya terdengar ke daerah lain bahkan ke telinga negeri tetangga, Malaysia dan Singapura. Setelah membaca peristiwa itu dari surat kabar, seorang ibu dari Aceh terharu, datang dan menganjurkan supaya “uang ajaib” itu tidak dipergunakan dan sebaiknya disimpan saja dan menggantikan sejumlah uang itu. “Simpan saja uang itu dan ini sebagai gantinya,” kata ibu tersebut saat itu, seperti yang ditirukan James.

Demikian kisah ini berlanjut, dua lembar dari lembaran-lembaran uang ajaib itu kemudian dibawa oleh seorang sahabat dari Singapura. Melalui cerita sahabat tadi, peristiwa aneh itu pun tersebar dan membuat sebuah keluarga terharu. Tanpa menyebutkan identitas, keluarga itu kemudian memberikan bantuan sebesar Rp 250 juta.

Untuk yang kedua kalinya, setelah James menjelaskan ide pembangunan itu kepada keluarga tersebut dan beberapa keluarga lain di Singapura melalui sahabat yang juga pastor itu, pada waktu yang tidak begitu lama sesudahnya, bantuan dalam jumlah yang sama kembali datang mengalir ke rekening James di bank.

James pun terharu. “Saya semakin heran dan terkejut,” katanya. James kemudian mengundang keluarga itu untuk melihat kondisi graha yang sedang dibangun. Pada waktu yang sama keluarga itu kembali memberikan bantuan untuk ketiga kalinya.

Ketika keluarga itu kembali ke Singapura, Nenek Teresa Yap Lian Hoe seorang ibu tua yang telah puluhan tahun bekerja untuk keluarga itu sebagai pembantu rumah tangga ikut terharu. Pada saat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ibu yang sepanjang hidupnya tidak menikah itu dengan rela memberikan tabungan yang disisihkannya sepanjang hidupya untuk disumbangkan untuk pembangunan graha itu. “Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir Nenek Teresa Yap Lian Hoe meminta majikannya untuk mengantarkan persembahan seumur hidupnya itu untuk pembangunan graha ini,” kenang James terharu.

Demikian seterusnya, kata James. Bantuan pun datang dari berbagai pihak yang hampir seluruhnya mengalir lewat rekening bank tanpa sepengetahuannya. “Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dana yang mengalir ke rekening sumbangan di bank selalu bertambah setiap minggunya. Saya heran juga…,” cetusnya.

“Padahal setiap minggu saya selalu ambil dana tidak sedikit dan itu saya pergunakan untuk biaya pembelian bahan bangunan dan biaya pekerja dan rekening itu selalu tidak pernah berkurang, bahkan sebaliknya.”

Kini bangunan dengan biaya sebesar Rp 4 milliar itu berdiri seperti pertama kali James memimpikannya. Mimpinya untuk memberikan suatu oase bagi kehidupan manusia yang sedang haus akan segala hal terwujud sudah. James memandang bahwa manusia saat ini sedang dilanda rasa haus dalam berbagai hal, nama dan kehormatan, kekayaan dan uang. Inilah yang sedang melanda manusia modern saat ini dan oase ini hadir untuk melepaskan dahaga mereka. “Silahkan datang hai yang letih dan berbeban berat dan rasakanlah keteduhan di sini,” katanya.

Pada 1 Oktober 2005 dengan resmi dibuka oleh Gubernur Sumatera Utara Drs Rudolf Pardede dan Uskup Agung Medan Mgr A G Pius Datubara OFMCap. Dan sejak saat itu graha ini menarik banyak orang dari Nusantara dan manca negara.

James sempat menyayangkan kekurangan fasilitas di tempat ini yakni belum tersedianya sarana penginapan untuk mendukung kunjungan peziarah dari luar Kota Medan dan negeri tetangga. Namun kemudian pada tahun 2006 mimpi itu pun terwujud. Meski kapasitas yang tersedia hanya beberapa kamar saja karena keterbatasan tempat namun setidaknya dengan adanya penginapan kecil ini mampu mengatasi kendala yang sering terjadi pada pengunjung yang ingin berlama-lama tanpa harus repot mencari penginapan di tempat lain. Penginapan ini mampu menampung sekitar 20 orang pengunjung, kata James, selain dilengkapi dengan kantin kecil.

***

SORE itu keheningan masih terjaga. Joni dan Ida melanjutkan perkelanaannya di graha itu. Kelihatannya mereka sedang memandang-mandang ke bawah dari lantai dua bangunan graha. Sesekali, keduanya mengamati lukisan-lukisan di dua buah tembok jalan layang naik menuju lantai dua graha itu. Lain pula dengan Nurlela, di dalam ruangan luas di lantai dua itu, ia kelihatannya sedang menikmati keheningan tempat itu. Ia sedang membaca sebuah buku dan kelihatannya tak mau diganggu. Kemudian saya menegurnya. “Saya senang menikmati suasana hening di tempat ini, sepertinya saya merasakan kedamaian,” katanya.

Sementara di halaman luar, beberapa remaja lain kelihatan sedang asyik bergantian dengan kamera ponselnya. Mereka ingin mengabadikan kedatangan mereka di tempat itu. Dan ibu-ibu tadi, ibu-ibu yang serius membaca tulisan di Taman Mini Santo Giovanni Paolo II yang dibangun untuk mengenang almarhum bapa segala bangsa itu, sudah beranjak ke tempat lain. Mereka sedang berdoa di sebuah kapel kecil.

Di kapel kecil yang diberi nama Kapel Maria inilah James mengawali mimpinya. Kapel kecil tempat berdevosi kepada Bunda Maria ini merupakan bangunan awal dari seluruh bangunan yang ada di graha itu. Menurut James, di sinilah doa-doanya sering didengar oleh Tuhan sehingga pembangunan graha terwujud hingga kini.

Maka, meski Graha Maria Anna Velangkanni baru diresmikan pada 2005, kapel ini sudah diresmikan sebelumnya pada 8 September 2001. Sebelum graha seutuhnya dibangun, kapel kecil ini sudah dipergunaan untuk doa harian setiap saat dan Doa Novena setiap Sabtu sore sepanjang tahun.

Dari kapel kecil ini juga, ide simbolis James untuk menyatukan surga dan bumi lahir. James ingin Graha Maria Anna Velangkanni menjadi wadah pertemuan antara surga dan bumi.“Di sinilah surga dan bumi bertemu. Di sinilah Tuhan Pencipta bertemu dengan bangsa manusia, makhluk ciptaan-Nya,” ungkap James.

James menjelaskan, gereja yang ada di lantai atas bertingkat tujuh dengan tiga menara berkubah merupakan simbol langit ke tujuh yaitu surga. Sedang jalan kedua layang yang tampak seperti merangkul, bersama lantai bawah melambangkan bumi. Maka pada dinding jalan layang terlukis kejadian-kejadian penciptaan hari demi hari.

Lukisan-lukisan lainnya secara implisit mewakili tema-tema penjelajahan religius di setiap sudut graha, baik interior maupun eksterior. Mulai dari peristiwa penciptaan, perjamuan kudus, penyaliban, dan kebangkitan. Inilah lukisan-lukisan sederhana namun memberi arti. Lukisan-lukisan yang dipersembahkan G R Andeas (28), lelaki India yang oleh James dijuluki sebagai “Little Micheleangelo”, yang diidentikkan dengan sosok pelukis kesohor Italia Micheleangelo.

Andreas tak pernah mengecap sekolah seni secara formal, tapi ia memiliki bakat memukau sebagai pelukis. “Bagi saya ia seperti Micheleangelo,” kata James.

Lukisan itu ibarat pencerita (story teller). Pembisik makna. Seperti makna desain bangunan yang juga sarat makna. Lantai dasar misalnya merupakan simbol bumi, tempat di mana kita hidup. Aula yang diberi nama aula St Anna, seperti kata James merupakan balai pertemuan umat Tuhan yang datang sebagai saudara tanpa memandang perbedaan suku bangsa, agama, bahasa dan budaya serta perbedaan lainnya.

Maka di tempat ini selain dipergunakan untuk acara berbau rohani, juga dipergunakan oleh orang-orang dari berbagai kalangan untuk mengadakan acara seperti pernikahan, acara adat marga, pertemuan mahasiswa dan berbagai kegiatan lainnya tanpa dipungut biaya standar. Jika biayanya dipatok maka orang-orang arang akan enggan datang ke sini karena persoalan ekonomis, kata James. “Kami hanya menyediakan kotak sumbangan yang nantinya sumbangan itu akan dipergunakan untuk biaya perawatan dan kebersihan.”

Itulah Graha Maria Anna Velangkanni, suatu tempat yang mungkin akan menjadi “oase di padang gurun” di sudut Kota Medan. Tawarannya mengajak kita untuk menghargai pluralitas. Menawarkan komposisi harmonisasi di antara pluralitas. Inilah makna sebuah cinta. Harmoni. Cinta yang berawal dari perbedaan. Sebuah tempat yang menawarkan keindahan, kedamaian dan kesejukan spiritual dan jasmani. Selamat datang dan nikmatilah pesona estetika spiritual ini.

Welcome…and taste the spirit.

Teks: Tonggo Simangunsong
Foto: James Bharataputra SJ collection