Thursday, March 27, 2008
Jika Danau di Atas Danau
Berjalan di sisi sebuah danau memang mengasyikkan. Air, bagian terpenting dari alam, memang selalu mampu menawarkan sejuta interpretrasi tentang kesempurnaan sebuah keindahan, apalagi di sebuah wilayah yang masih alami.Tanpa sentuhan manusia-manusia serakah, penjahat-penjahat alam sebuah istilah untuk para penebang-penebang hutan liar.
Bagaimana menggambarkan sebuah danau di atas danau? Pertanyaan itu yang pertama kali muncul dalam benak saya ketika mendengar dan membaca sekilas untuk menjelaskan Danau Aek Natonang, yang berada di dataran tinggi wialayah Samosir ini.
Di Kabupaten Samosir sebenarnya terdapat dua danau di atas danau. Pertama Danau Sidihoni, jaraknya sekitar 8 kilometer dari Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Dikelilingi oleh bukit landai berwarna hijau muda dan deretan pohon pinus, semakin menambah keindahan. Sayang, danau ini tampaknya “merana” alias belum dikelola dengan baik. Sayangnya lagi, sebagian besar penduduk di sekitar danau masih memanfaatkan airnya untuk fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Selain itu, terbatasnya sarana prasarana transportasi juga membuat obyek wisata ini jarang mendapat kunjungan wisatawan.
Itulah Samosir. Kabupaten yang baru dimekarkan pada tahun 2003 ini memang memiliki banyak potensi di sektor pariwisata. Danau Sidihoni, yang kini merana ternyata bukan dialaminya sendirian. Danau induknya, Danau Toba, juga merana. Ia mendapatkan “perlakuan” yang sama dari masyarakat maupun pemerintah setempat dan pusat.
Seandainya ia bisa berbicara, ia pasti berontak. Seandainya ia memiliki air mata, mungkin ia akan menangis sepanjang waktu dan air matanya tu akan menjadi air danau yang jernih.” Dalam perjalanan pulang, saya mengandai-andai.
Masyarakat memperlakukannya seperti kamar mandi, mandi sesuka hati, mencuci pakaian, hingga buang hajat. Itulah yang terjadi dengan danau terbesar di Asia Tenggara itu
Lupakan saja sejenak tentang nasib Danau Toba. Sekarang, tibalah saatnya mengunjungi lokasi wisata yang hampir jarang disentuh kaki manusia itu. Di mana? Jawabannya, Danau Aek Natonang. Bangaimana menuju ke sana?
Inilah yang menjadi persoalan sejak menginjakkan kaki di Bumi Samosir itu, baru-baru ini. Sejak tiba di Kecamatan Pangururan melalui jalan darat lintas Tele dari Kabupaten Sidikalang, seorang pedagang makanan menjelaskan di ibukota kabupaten seluas 1.419,05 km itu
Ia pun bercerita, tapi dengan terlebih dahulu memesan mie rebus. Sangat pas dengan kondisi cuaca, dingin. Berdasarkan ceritanya inilah kami memulai perjalan menuju danau yang semakin “misterius” — setidaknya buat saya – esok harinya.
Dari Pengururan perjalanan kami lanjutkan menuju Tomok, yang dikenal dengan atraksi pertunjukan patung Sigale-galenya. Konon, menurut Sidabutar (46), pengelola Museum Tomok, kata “Tomok” berasal dari kata “Tolmok” yang artinya seorang anak laki-laki dewasa yang memiliki postur tubuh gemuk dan pendek. “Tapi tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu pendek, sedang-sedanglah” katanya ketika kami mengujungi museum yang penuh dengan benda-benda bersejarah peninggalan suku Batak itu.
Secara detail ia pun menerangkan satu-persatu benda pusaka yang susah payah didapatinya itu, mulai dari Hobbung tempat tidur Raja Sidabutar yang sekaligus dijadikan sebagai tempat penyimpanan harta sang raja), Tongkat Tunggal Panaluan, Laklak (buku yang mencatat sejarah Batak dan kalender penanggalan kuno), rudang, ulos, appang na bolon, parhokkom, pangir.
“Salah satu upaya untuk melestarikan peninggalan yang banyak menyimpan nilai seni dan budaya Batak itu, setiap tahunnya dirayakan dengan menyelenggarakan upacara yang disebut dengan Horja Bios” katanya dengan semangat
Show Time
Perjalanan dimulai. Saya pun teringat sebuah ucapan, entah sebuah lirik lagu atau suara dari sebuah iklan di TV: “it’s show time”.
Dengan terlebih dahulu menyewa sebuah motor bebek seharga Rp 50 ribu kami pun memulai perjalanan menuju Danau Aek Natonang. “Jika lae mau ke Danau Aek Natonang, di sana kau akan menemukan sebuah persimpangan tepatnya di sebelah kanan, nah dari situ jalan terus, tapi hati-hati jalannya parah,” kata seorang yang tak kukenal memberi petunjuk.
Sejauh sekitar 1,5 jam terasa melelahkan. Akses jalan berliku-liku dan mendaki. Setelah melalui Desa Parmonagan kami pun tiba di Desa Tanjungan tempat di mana Danau Aek Natonang berada. Memang, sebelum mencapai Parmonangan, akses jalan sudah diaspal hotmix meskipun ketika tiba di Desa Tanjungan, perjalanan mulai tergganggu akibat kondisi jalan yang samasekali tidak layak. Kondisinya parah dan memprihatinkan. Rusaknya jalan diakibatkan akses dipergunakan untuk keperluan truk-truk bermuatan kayu gelondongan dengan muatan berton-ton beratnya
Di Desa Tanjungan, tampak aktivitas kehidupan masyarakat seluruhnya bertumpu pada pertanian. Sebagian bekerja sebagai tukang potong kayu, entah untuk dibawa ke mana, namun setidaknya penebangan-penebangan itu, bukan tidak mungkin akan merusak tofografi yang mayoritas perbukitan yang landai. Sebagian juga ditanami dengan biji kopi, bawang dan kacang tanah
Danau Aek Natonang ternyata sangat indah. Meskipun airnya tidak sejernih air Danau Toba, namun ketenangan air dan suasana alamnya yang asri membuat siapa pun yang berkujung ke sini betah untuk berlama-lama. Sayang, di tempat ini belum terdapat satu pun sarana pendukung untuk mengundang minat wisatawan untuk berkunjung ke sini. Alhasil, kebosanan, mungkin menjadi sebuah “hadiah” yang lama-lama merasuk ketika tiba di sini
Itulah Danau Aek Natonang, kembali saya mengandai-andai: “Seandainya Danau-danau di Samosir ini (Danau Sidihoni, Danau Aek Natonang dan Danau Toba) bisa berbicara, mereka akan berontak, seandainya mereka bisa menangis, mungkin akan banyak danau-danau kecil akibat tangisan itu”. Tak tarasa kami sudah sampai di Tuktuk Siadong, tempat di mana kami menginap.
Mmh, dingin…. Tapi, nikmat juga!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment